Senin, 14 Mei 2012

Makalah :)



Laporan
Study Lapangan
Keraton Yogyakarta

Di susun guna melengkapi dan memenuhi
Salah satu tugas akhir semester Genap
Mata Pelajaran Sosiologi
Tahun Pelajaran 2010/2011
Di susun
Kelompok IV:
1. Dinny Aisyah A      (05)
2. Nita Murtia H        (19)
3. Nurul Oktavia S U  (21)
4. Pradita Elno K        (22)
5. Sara Dhamaswary (24)
6. Yohana anes S       (29)
PEMERINTAH KABUPATEN KARANGANYAR
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA
SMA NEGERI  KEBAKKRAMAT
KARANGANYAR
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT,yang atas rahmat-Nya maka saya dapat menyelesaikan penyususnan makalah yang berjudul “ Museum Keraton Yogyakarta “.Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas akhir semester genap mata pelajaran sosiologi.
Dalam penulisan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini saya menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,khususnya kepada :
  1. Bapak Nur Widianto, S.Pd selaku guru mata pelajaran yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini.
  2. Teman-teman semua dikelas X-9 SMA N KEBAKKRAMAT
  3. Secara khusus kami menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian besar kepada kami.
  4. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.   
                                                                                         Kebakkramat, 30 April 2011
                                                                                                               
                                                                                                               Penulis
DAFTAR  ISI
 
     HALAMAN  JUDUL                                                                                                     1
     KATA PENGANTAR                                                                                                    2
     DAFTAR  ISI                                                                                                                 3
        BAB I  PENDAHULUAN
                    A. Latar Belakang                                                                                            4
                    B. Perumusan Masalah                                                                                     5
       BAB II  Tinjauan Pustaka
                    A.  Struktur Sosial                                                                                            6
B.  Status dan peranan                                                                                       7
                    C. Status keraton Yogyakarta                                                                          10
BAB III  PEMBAHASAN
A.    Keberadaan keraton Yogyakarta di era sebelum kemerdekaan ……………11
B.     Keberadaan keratin Yogyakarta di era setelah kemerdekaan ………………12
C.    Status dan peranan keratin Yogyakarta di era reformasi …………………...13
      BAB IV   Penutup
              A.Kesimpulan                                                                                                         15
           B. Saran                                                                                                                     15
      DAFTAR PUSTAKA                                                                                                    16
      LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
A.              Latar Belakang Masalah
Pada mulanya Keraton Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The Imperial House) dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisi lembaga ini disebut Parentah Lebet (harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan (Royal Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah Nagari (harfiah=Pemerintahan Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.
Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah nJawi) bersama-sama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara (state) menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta. Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem) keraton.
Sultan Yogyakarta selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dijabat oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang juga Penguasa Paku Alaman. Setelah 1999 keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sultan Hamengku Buwono X
B.              Perumusan Masalah
Untuk mengkaji laporan ini, maka perlu sekiranya perlu dirumuskan masalah yang menjadi pokok bahasan. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
  1. Bagaimana keberadaan keraton Yogyakarta diera sebelum kemerdekaan ?
  2. Bagaimana keberadaan keraton Yogyakarta diera setelah kemerdekaan ?
  3. Apa yang mempengaruhi status dan peranan keraton Yogyakarta diera reformasi ?





BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A.              Struktur Sosial
Bahwa status atau kedudukan bangsawan seseorang ditentukan oleh  hubungan darah seseorang dengan pemegang kekuasaan yaitu raja. Yang kedua ditentukan oleh posisi atau kedudukan seseorang dalam hierarki birokrasi kerajaan. Dengan memiliki salah satu  dari kriteria itu, maka seseorang dianggap termasuk golongan elit dalam stratifikasi masyarakat tradisional kerajaan. Untuk kriteria yang disebutkan pertama hanya ditempati oleh para bangsawan yaitu yang berdasarkan atas  hubungan darah.dengan pemegang atau pemilik kekuasaan yaitu raja. Sementara untuk  yang disebutkan kedua bisa berasal dari bangsawan atau non-bangsawan. Artinya bahwa seseorang, meskipun bukan bangsawan, bisa diangkat dan menduduki strata tertentu dalam birokrasi kerajaan.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin dekat hubungan darah seseorang dengan raja berarti semakin tinggi pula status kebangsawanan seseorang. Sebaliknya makin jauh hubungan darah itu dari pemegang kekuasaan, maka makin kurang murnilah darah kebangsawanannya, yang berarti semakin menurun pula derajad kebangsawanannya. Pada umumnya derajad kebangswanan itu hanya menurun kepada ahli waris raja sampai derajad keempat atau paling jauh sampai derajad kelima.
         Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menunjukkan bahwa istana (keraton) menjadi pusat kehidupan tradisional Masyarakat Jawa. Sehingga dapat dikatakan Pusat dari segala kebudayaan Jawa yang terkenal adiluhung itulah di kota Yogyakarta dengan pusatnya  Kraton Yogyakarta. Di Kraton ini terdapat berbagai struktur sosial yang sangat jelas dengan Raja sebagai pimpinan struktur paling atas. Hal ini seperti disampaikan oleh  Abdurrachman (2000 : 27) yaitu bahwa di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat terdapat sebuah sistem yang terbentuk dari komponen-komponen sesuai dengan susunan-susunan kelas yang terdiri dari :
a.    Lapis pertama: Sultan.
Sultan bertugas sebagai kepala pemerintahan yang berkuasa di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
b.    Lapis kedua : Kerabat Keraton atau Sentana Keraton.
Kerabat Keraton merupakan keturunan dari Raja yang mempunyai keistimewaan dalam bidang-bidang tertentu.
c.    Lapis ketiga : Pekerja Administrasi Kasultanan maupun pemerintahan (Abdi Dalem atau Kaum Priyayi).
Abdi Dalem bertugas sebagai pegawai Keraton yang bekerja sesuai dengan jenjang kepangkatan atau gelar mereka.
d.    Lapis keempat : Golongan Wong Cilik.
Golongan wong cilik merupakan rakyat biasa yang patuh dan hormat terhadap Raja. Raja di pandang sangat sacral dan tidak setiap rakyat kecil (wong cilik) atau masyarakat umum dapat secara bebas bertemu dengan raja. Sehingga dalam study lapangan hanya bertemu dengan abdi dalem yang memandu pengunjung memutari keraton.
B.              Status dan Peranan
Keraton Yogyakarta sudah berstatus Daerah Istimewa  jauh sebelum Indonesia merdeka. Yogyakarta diberi status Negara Bagian, bukan wilayah jajahan atau daerah taklukan, oleh: 

1. Kolonialisme VOC,
2. Kolonialisme Hindia Perancis (di bawah Kerajaan Perancis),
3. Kolonialisme Hindia Timur (di bawah Kerajaan Inggris),
4. Kolonialisme Hindia Belanda (di bawah Kerajaan Belanda), dan
5. Angkatan Darat XVI Jepang (di bawah Kekaisaran Jepang ).

http://photos-h.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash2/hs493.ash2/76664_1549176529097_1225596119_31397382_3335096_a.jpg
Oleh Belanda, status Daerah Istimewa itu disebut Zelfbestuurende Lanschappen, dan oleh Jepang disebut Koti (Kooti). Sejak Indonesia diproklamasikan merdeka pada 1945, merespon kekalahan Jepang di PD II,  tentara kolonial Belanda datang untuk berusaha mengambil kembali wilayah yang secara politik dan militer pernah dikuasainya dulu, sebelum dipukul mundur Jepang.  Pada saat Belanda dipukul mundur Jepang, Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta masih bersatusVoorstenlanden (wilayah di luar kekuasaan Hindia Belanda), dan status itu tidak diganggu gugat oleh Angkatan Darat XVI Jepang atas perintah Kaisarnya. Ketika kalah di PD II pun Angkatan Darat XVI Jepang menyerahkan diri dan melucuti persenjataannya bukan ke Belanda, apalagi Indonesia, tapi ke Raja Yogyakarta (HB IX).Indonesia diproklamasikan Soekarno-Hatta,  baru diakui dunia lewat PBB setelah kekuatan diplomasi dan hubungan internasional Sultan HB IX mampu menekan pemerintahan kolonial. Konsekuensi dari pengakuan dunia itu adalah penarikan mundur tentara kolonial Belanda dari Kerajaan Yogyakarta.

Bertolak belakang dengan saudaranya di Surakarta (Mangkunegaran dan Kasunanan), di mata pemerintahan kolonial Belanda sepanjang sejarahnya, Yogyakarta dipandang sebagai Kerajaan miskin yang lebih banyak melahirkan perang pemberontakan ketimbang karya sastera dan perdagangan. Insiden Ontowiryo (Pangeran Diponegoro, putra sulung Sultan HB III), misalnya, menghasilkan perang besar di Tanah Jawa selama lima tahun (1825 – 1830)  melawan kolonial Belanda. Berdirinya Keraton Yogyakarta itu sendiri (lewat Perjanjian Giyanti 1755) adalah hasil pemberontakan fisik Sultan HB I terhadap kolonial sehingga eksistensi Keraton itu sendiri adalah simbol perang fisik anti kolonialisme. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Keraton Yogyakarta lebih suka mewarisi semangat perang anti kolonial dari leluhurnya, Sultan Agung, lebih memilih jalur perang fisik, ketimbang lewat kesusasteraan; berbeda dengan para saudaranya di Surakarta yang menghabiskan waktunya untuk berdagang dan memproduksi banyak karya sastra besar. Mangkunegaran menghasilkan karya sastra besar di era Mangkunegara IV dan VI (Wulangreh dan Serat Kalathida misalnya), dan wilayah Kasunanan di era Pakubuwono X kaya raya karena menguasai perdagangan gula saat itu.

Konsisten dengan karakter anti kolonial yang melahirkan Kerajaan Yogyakarta, Sultan HB IX, sejak awal penobatannya, telah dengan terang benderang menunjukkan sikap pro republiken kepada Belanda, dan puncaknya adalah ketika wilayah Kerajaan Yogyakarta dipinjamkan kepada Soekarno-Hatta untuk dijadikan Ibu Kota Republik Indonesia, dipersilahkan menempati Gedung Negara untuk dijadikan Istana Negara.













C.               Status Keraton Yogyakarta

KAMI HAMENGKU BUWONO IX, SULTAN NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MENJATAKAN:

1. BAHWA NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT JANG BERSIFAT KERADJAAN ADALAH DAERAH ISTIMEWA DARI NEGARA REPUBLIK INDONESIA.

2. BAHWA KAMI SEBAGAI KEPALA DAERAH MEMEGANG SEGALA KEKUASAAN DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT, DAN OLEH KARENA ITU BERHUBUNG DENGAN KEADAAN DEWASA INI, SEGALA URUSAN PEMERINTAHAN DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MULAI SAAT INI BERADA DITANGAN KAMI DAN KEKUASAAN-KEKUASAAN LAINNJA KAMI PEGANG SELURUHNJA.

3. BAHWA, PERHUBUNGAN ANTARA NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT DENGAN PEMERINTAH PUSAT REPUBLIK INDONESIA BERSIFAT LANGSUNG DAN KAMI BERTANGGUNG-DJAWAB ATAS NEGERI KAMI LANGSUNG KEPADA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

KAMI MEMERINTAHKAN SUPAJA SEGENAP PENDUDUK DALAM NEGERI NGAJOGJOKARTO HADININGRAT MENGINDAHKAN AMANAT KAMI INI.

NGAJOGJOKARTO HADININGRAT, 28 PUASA, EHE 1976 (5 SEPTEMBER 1945).

HAMENGKU BUWONO



BAB 3
PEMBAHASAN

A.  Keberadaan keraton Yogyakarta diera sebelum kemerdekaan
KRATON DAN KEISTIMEWAAN YOGYA
Jika keistimewaan Yogya tetap didefinisikan sebagai Pemerintahan Daerah yang secara otomatis dipimpin oleh Sri Sultan sebagai Gubernur dan Sri Paku Alam sebagai Wakil Gubernur, kerabat Kraton berada dalam posisi yang sangat menentukan. Jika UU Keistimewaan yang ditetapkan nantinya meneguhkan prinsip ini, kerabat Kraton mempunyai tanggungjawab teramat besar atas nasib dan masa depan Yogya.
Secara historis, Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat dan juga Kadipaten Pakualaman memiliki otoritas atas wilayah dan rakyat Yogya. Sebelum RI berdiri, Yogya merupakan sebuah kerajaan, tepatnya terdiri dari dua buah kerajaan besar dan kecil, yaitu Kasultanan dan Pakualaman. Kadipaten Pakualaman memiliki wilayah kekuasaan di sebagian kecil kota Yogya dan beberapa wilayah di sebelah selatan Kulon Progo yang dulu disebut sebagai wilayah Adikarto.
Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia, nagari Ngayogyokarto mempunyai posisi tawar yang sangat tinggi. Penjajah menghormati eksistensi raja yang berkuasa sehingga setiap kali seorang Sultan baru akan naik tahta, Belanda mengadakan perjanjian (politiek contract). Menjelang penobatan Sri Sultan HB IX, Gubernur Belanda untuk wilayah Yogya (Lucien Adam) terpaksa harus menjalani perundingan yang alot sebelum akhirnya HB IX menandatangani perjanjian.
Setelah RI merdeka dan Sri Sultan HB IX bersama Paku Alam VIII menyatakan bergabung dan mendukung RI, Pemerintah Pusat memberi sebuah Piagam Kedudukan. Inilah yang merupakan embrio Keistimewaan Yogya. Ini sebenarnya juga merupakan pengakuan, penghargaan, dan perjanjian antara RI dan pihak Kraton yang sampai saat itu berkuasa atas wilayah dan rakyat Yogya.
Sampai Reformasi 1998 bergulir, meskipun keistimewaan Yogya juga tidak jelas secara hukum, eksistensi Kraton dan kepemimpinannya terbukti mampu membawa Yogya bertumbuh. Dwi tunggal HB IX dan PA VIII menjadikan Yogya termasyur karena perjuangannya. Pada masa-masa awal Orde Baru, HB IX berperan besar untuk menyelamatkan kondisi ekonomi bangsa Indonesia. Dwi tunggal HB X dan PA IX selama ini juga telah menunjukkan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan Yogya. Semua itu telah membuktikan bahwa kerabat Kraton (Sri Sultan dan keturunannya, Paku Alam dan keturunannya) mempunyai visi, komitmen, integritas, dan kapasitas untuk memimpin Yogya.
B.     Keberadaan keraton Yogyakarta diera setelah kemerdekaan
Keraton yogyakarta sebagai pusat pemerintahan budaya dan religi terus berbenah
mengikuti pola perkembangan jaman Raja dan kraton merupakan sumber cahaya yang
mengalir dan memancarkan kekuasaaan sehingga dapat memangku jagad raya dan
Negara atau menjadi paku jagad semesta alam Wilayah kekuasaan yang memanjang 5
kilometer kearah selatan hingga panggung krapyak dan 2 km kearah utara berakhir di
tugu Pada poros atau sumbu krapyak hingga tugu ini secara filosofis dapat dibaca
sebagai garis linier Filosofi jawa memang tidak mudah untuk dicerna namun sarat
dengan berbagai makna Dari arah selatan ke utara dilambangkan ssebagai manusia dari
tempat yang tinggi ke alam fana Sedangkan dari arah utara keselatan dilambangkan
sebagai proses kembalinya manusia ke sisi dumadi atau tuhan dalam pandangan jawa
Hal tersebut terungkap dalam penelitian mengenai resonansi kekuasaan keraton di era
refomasi oleh seorang peneliti S. bayu wahyono Dalam hipotesa penelitiannya S. bayu
menyatakan resonansi kekuasaan raja dan kraron kasultanan yogyakarta terkonsentrasi
diseputar keraton dan kemudian makin melemah hingga ke mancanegara mengikuti
prinsip permabatan lampu pijar Dengan kata lain  getaran kekuasaan raja kesultanan
yogyakarta mengikuti perambatan gelombang tinggi atau frekuensi modulasi
Dalam penelitian yang melibatkan 2100 responden dari sebaran wilayah kota yogyakarta gunungkidul kulonprogo bantul sleman dan pacitan menemukan sejumlah asumsi diantaranya sikap responden terhadap jabatan gubernur sultan jabatan gubernur
keturunan sultan jabatan wakil gubernur pakualam jabatan wakil gubernur keturunan
pakualam juga menyangkut peran kraton dalam pengembangan sosial budaya pengembangan ekonomi masyarakat serta peran politik kraton
C.    Status dan peranan keraton Yogyakarta diera reformasi
Makna Keraton di Tengah Reformasi

Ribuan umat Islam Minggu malam (20/8/02) memadati Pagelaran Keraton Yogyakarta dalam rangka Peringatan 254 Tahun Hadeging Nagari Ngayogyakarta. Mereka semua memanjatkan doa agar Keraton di bawah Sultan Hamengku Buwono X tetap lestari dan mampu mengajak masyarakat untuk terus berkembang maju, mandiri dan ber-akhlakul karimah.

Acara Majelis Tasyakuran, Mujahadah Akbar dan Sema'an Al Qur'an juga dihadiri GBPH Joyokusumo, jajaran Muspida Provinsi DI Yogyakarta dan anggota DPRD DIY serta alim ulama se-Jawa, Lampung dan NTB. Sultan sendiri tidak hadir karena ada acara di Solo dan sambutannya dibacakan oleh permaisurinya, GKR Hemas.

Menurut Sultan, dalam konteks reformasi sat ini, Keraton Yogyakarta harus mampu mereposisi diri dengan cara introspeksi. Hal itu perlu dilakukan, melalui proses kreatif, jika tidak perjalanan kebudayaan akan mati.

Sebenarnya hal itu sudah lama mengusik pikiran Sultan adakah arti dan makna sebuah keraton di tengah-tengah arus reformasi? Keberadaan Keraton Yogyakarta adalah realitas historis yang memuat pesan kultural, berupa karya nyata dan batiniah.

Melihat kenyataan ini, Sultan merasa prihatin. Bangsa yang selama ini dicitrakan sebagai bangsa yang religius, telah berubah menjadi bangsa yang mudah marah. Persoalan kecil selalu diselesaikan dengan kekerasan. Setiap lapisan masyarakat selalu menganggap diri benar dan tidak mau menerima perbedaan.
Kalau menurut versi panitia, angka 254 itu menunjuk hadeging nagari, berdirinya kerajaan. Bukan menunjuk pada kondisi fisik keraton tetapi sebuah wilayah kenegaraan, wilayah kekuasaan raja. Angka 254 itu mengacu pada perhitungan kalender Jawa yang berbeda dengan kalender Masehi. "Menurut hitungan tahun Jawa, saat ini (2001) baru menginjak tahun 1934, sehingga peringatan kali ini bertolak pada angka 1680 tahun Jawa -hadeging nagari Ngayogyakarta," demikian penjelasan Suhardi, staf Keraton Kilen Yogyakarta, Senin (20/8).

Pada masa itu Kerajaan Mataram masih bersatu dalam satu kerajaan di bawah Sri Sunan Paku Buwono II. Sampai pada tahun 1750, Pangeran Mangkubumi-kemudian HB I-sudah menguasai sebagian besar wilayah Mataram yang waktu itu dalam cengkeraman Kumpeni Belanda.
Lewat Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755, wilayah Mataram dibagi dua, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sebulan setelah pertemuan di Giyanti itu, 13 Maret 1755 atau 29 Jumadilawal be 1680 tahun Jawa, diumumkan berdirinya Negara Ngayogyakarta dengan kepala negara Sri Sultan Hamengku Buwono bergelar Senapati Ing Ngalogo Ngabdurrachman Sayidin Panatagama Kalifatulah I ing Ngayogyakarta.
Mbak Is, pemandu di Keraton Yogyakarta, menjelaskan, sebelum mendirikan bangunan keraton, Mangkubumi atau Sultan HB I mula-mula bertempat tinggal di Ambarketawang. "Ambarketawang letaknya di Desa Gamping sekitar empat kilometer barat Kota Yogyakarta, sebelah barat Kali Bedog. HB I masuk ke Ambarketawang 9 Oktober 1755 atau 3 Sura Wawu 1681. Di sana sampai sekarang masih ada sisa-sisa peninggalan keraton HB I," kata Mbak Is.
Dari sana Sultan mencari tanah yang cocok untuk menjadi ibu kota Ngayogyakarta. Pada akhirnya ditemukan Hutan Beringan di antara Kali Winongo dan Kali Code. Sultan pun pindah, menempati keraton barunya pada Kamis Pahing 13 Sura Jimakir 1682 atau 7 Oktober 1756.
Keberadaan (Keraton) Yogyakarta niscaya diawali dari seorang raja yang mempunyai wawasan dan kearifan yaitu Sultan HB I yang tak mau tunduk kepada Kumpeni. Mungkin tepat pula ujaran Sultan Hamengku Buwono X; Keraton Yogyakarta sekarang ini harus melakukan introspeksi terhadap keberadaannya agar selalu dapat menjawab tantangan zaman.

BAB 4
PENUTUP
A.              Kesimpulan
Bahwa pada dasarnya keraton Yogyakarta masih tetap berfungsi sejak di era sebelum reformasi dan hingga sampai sekarang ini. Kemudian keraton Yogyakarta di era setelah reformasi ini sering dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Jika kita pergi kesana kita akan dipandu oleh abdi dalem keraton dan diberi penjelasan mengenai kebudayaan keraton.
B.                   Saran
Bertolak dari kesimpulan di atas maka penulis mengajukan beberapa saran, diantaranya :
1. Para siswa dapat menjadikan study lapangan di Yogyakarta ini menjadi pelajaran yang sangat berharga mengenai salah satu kebudayaan yang sampai saat ini masih dilakukan oleh masyrakat khususunya masyarakat Jawa.
2. Pelajaan mengenai kebudayaan perlu lebih banyak dilakukan untuk mendalami kebudayaan Jawa.




DAFTAR PUSTAKA
  • Witton, P.; Elliott, M. (2003). Indonesia (edisi ke-7th). Footscray: Lonely Planet Publications. hlm. hlm. 217. ISBN 1740591542. (Penelusuran Buku Google)
  • On Location April 24th 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar